RSS

Tari Api Jefa Nugraheni Sunu



            Kau boleh menduga bahwa percikan jingga, nila, hijau yang menguar di atas bukit adalah Yahua yang menjelma reranting terbakar sebagaimana yang dilihat Musa di atas Bukit Sinai hingga untuk menjamahnya mesti menanggalkan sepasang alas kaki yang najis. Dan kau juga boleh mengira bahwa itu hanyalah burung phoenix yang hendak meleburkan jasad, lantas bereinkarnasi menjadi makhluk dengan paruh dan bulu cantik yang berkobar-kobar layaknya sirip naga Cina. Tetapi yang kau lihat bukanlah keduanya.
            Bila hari telah makzul, langit menjelma lembayung dan kupastikan bahwa gadis berwajah sebening ilahi itu bakal menari-nari di atas bukit. Lengan-lengannya memercik api tiga warna dan menerangi apa-apa di sekitarnya. Bukit menjadi kelap-kelip mengalahi ribuan kunang-kunang yang beterbangan serampangan di antara halimun. Jefa Nugraheni Sunu. Semula aku tak mengerti apa gerangan yang dilakukannya layak orang gila di atas bukit sendirian. Namun akhirnya aku tahu bahwa ia telah menjadi perempuan penghibur bangkai busuk Hisa yang telah ternisankan.
            “Sunu, Manisku, apa yang kau lakukan di sana? Apa kau tak menggigil?”
            Sunu tak bergeming menghadapi berondongan pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan tatkala ia menyiapkan segala keperluannya. Seolah-olah aku tak ada di hadapnya. Ia hanya peduli pada segala isi tas kumal. Sampur, beragam bunga, dan minyak beraroma aneh yang membuat perutku mual. Terkadang ia membawa sekeping menyan dan berbatang-batang hio cap Kwan Im.
            “Sunu, Cintaku, kau harus terima kenyataan ini. Hisa telah mati dan ia sudah tenang di pangkuan surgawi. Kau tak perlu repot-repot menerangi makamnya. Cahaya Tuhan telah menerangi kuburnya.”
            Seberbusa apa pun aku berbicara, Sunu tetap batu. Cintanya pada lelaki sinting diboyong hingga liang lahat. Cinta mengerikan macam apa yang ia tambat pada Hisa? Sempat aku curiga, Hisa telah meracuni makanan Sunu dengan segala ramuan bercampur mantera pengasihan. Edan… benar-benar edan….
            Dengan sepasang kaki mungil tergopoh-gopoh, Sunu menepis tanganku yang tengah menahan tangannya.
            “Sunu….” Ia berlari dan tak menanggapi panggilan setengah teriakku.
            Sebenarnya, untuk apa Sunu mengubur kekasihnya, lelaki penyakitan itu di atas bukit senyap? Bukankah di sana tak ada lantunan doa seperti hiruk pikuk salawat para peziarah makam Fatimah binti Maimun? Dan absen pula dari gugur bunga kemboja yang menghiasi tanah pusara?
            “Saya hanya ingin membagi cahaya pada Hisa. Bukan pada mayat-mayat yang digerogoti belatung dan kelabang,” pungkas Sunu sembari menyandangkan sampur merah dan mulai menari kesetanan.  
            Kalau sudah begitu, aku hanya bisa menunggu sambil menatap dari jarak beberapa meter. Kedua telapak tanganku siap-siap melindungi mata dari silau api yang bersemburat dari kedua lengan Sunu. Aku juga tak kuasa menahan batuk-batuk kecil lantaran asap dupa murahan memuai dan menusuk-nusuk lubang hidung.
            “Sunu Sayang, mau sampai kapan kau akan terus seperti ini?”
            “Sampai saya menyusulnya,” desisnya terengah-engah sambil bergerak-gerik gasing.
            Sunu, bila kelak aku mati, aku ingin kau juga menerangi kuburku. Tetapi, jika ternyata kau pulang lebih awal, aku akan menguburmu di lembah paling lengang. Akan kubelikan puluhan lampion yang bakal menerangi kuburmu. Akan kutaburi pusaramu dengan helai-helai mahkota mawar darah sebagai bukti cintaku padamu. Kusirami nisanmu dengan beragam minyak wangi tak tertandingi.
            Sebelum dicekal ajal, aku ingin mendapatkan cintamu, Sunu. Aku tak rela lelaki mana pun merenggut kasih manismu. Termasuk perempuan ular yang kini bersekutu denganku. Perempuan berbisa bernama Rara yang sampai detik ini menjadi sahabat lengketmu. 
            “Rara, kita harus berbuat sesuatu. Mereka curiga Sunu melakukan ritual-ritual sesat di atas bukit. Di kubur Hisa.”
            Perempuan itu panik. Rara begitu mencintai Sunu. Sama denganku. Tetapi ia tak tahu aku menjadi pesaing dalam selimut. Anehnya, dia tak mempertanyakan sekecil zarrah pun mengapa aku begitu menggebu-gebu membantu mewujudkan obsesi cintanya pada perempuan lembut.
            Kau tahu siapa Rara? Perempuan itu bermata jelita. Siapa yang tak bakal jatuh cinta pada matanya? Banyak lelaki telah menjadi korban sepasang matanya. Tetapi tidak denganku. Aku tahu siapa perempuan itu. Sepasang matanya seanggun Bastet, dewi kucing yang dipuja kaum-kaum firaun. Namun aku tahu bahwa bola matanya setajam taring kobra yang menyimpan bisa yang akut. Siapa pun yang menatap mata mengerikan itu akan terhisap dan terjerumus ke dalam jurang hitam yang tidak berpangkal. Ceruk matanya lebih dalam daripada kuali jahanam paling laknat. Aku tak mengerti mengapa ular betina seperti dia jatuh cinta pada merpatiku. Pernah suatu kali kutanyakan musababnya.
             “Rara, kenapa kau mencintai Sunu? Kenapa kau mencintai perempuan? Kau terlalu energik untuk mencintai gadis lemah macam Sunu. Bukankah banyak lelaki tampan yang hendak mempersuntingmu?”
            “Aku tak dahaga tubuh laki-laki. Tubuh laki-laki sangat menjijikkan. Bagaimana mungkin aku rela ada laki-laki yang membenamkan tubuhnya pada tubuhku?”
            Tetapi kau telah merebut jatahku, Rara.
Tak berani kuutaran rasa cintaku pada Sunu kepada Rara. Sebab perempuan itu bisa melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan para lelaki yang dicurigai jatuh cinta pada Sunu. Ia ingin cinta Sunu hanya untuknya. Tak boleh pada siapa pun. Mendadak aku merasa, darah rakus Arok telah menitis pada tubuh perempuan itu. Raja Singasari bertubuh ratusan kelelawar yang gemar menghabisi nyawa manusia demi mendapatkan cinta Dedes, perempuan bertungkai indah.
             Beberapa lelaki telah Rara lenyapkan karena mencintai Sunu, termasuk sepupunya sendiri, Christian. Dosa besar lelaki liat itu adalah memperlihatkan rasa cintanya pada Sunu kepada Rara. Rara menjadi geram dan apa yang perempuan itu lakukan? Ia menuduh lelaki bohemian itu sebagai orang merah. Ia menggiring orang sekampung menandangi rumah Christian. Memperlihatkan bendera bergambar arit-palu yang bertebaran di segenap dinding rumah Christian. Padahal, Rara sendirilah yang memajang bendera-bendera itu. Dengan keji, massa menghakimi Christian hingga babak belur. Hingga tewas kehilangan nyawa.
            “Bakar bangkainya,” bisik Rara kepadaku. Aku bawa tubuh tak bernyawa Christian ke krematorium penuh debu tempatku bekerja.
Christian, kau tak bisa mencintai Sunu karena ia adalah gadis impian sepupumu yang durjana. Kutanggalkan seluruh pakaian lelaki tampan itu. Perempuan-perempuan tolol kampung tergila-gila pada Christian, tetapi ia telah memilih Sunu sebagai tempat meletakkan hati.
Sebelum kukremasi, kupandangi tubuhnya yang cokelat dan masih menyeruak wangi alkohol. Sempat kuberpikir untuk menyetubuhinya. Aku ingin merasakan seperti ketika para perempuan menguliti wujud keperempuannya demi mencicipi tubuh kuda lelaki keriting itu. Tapi, mendadak aku dihinggapi perasaan jijik. Mana mungkin aku akan menggauli mayat lelaki yang telah berani-beraninya jatuh cinta pada Sunuku sayang. Lantas kucincang tubuhnya menjadi serpihan-serpihan kecil dan membakarnya pada tungku kremasi. Tidak sampai gosong, kurenggut kembali potongan-potongan daging itu dan kutabur menjadi makanan anjing dan babi liar yang acap berkeliaran di hutan.
“Rara, kenapa kau tega menuduh sepupumu sendiri?” tanyaku padanya.
“Tak boleh ada yang jatuh cinta pada Sunu. Bahkan Tuhan pun tak boleh.”
Maka tak ada seorang pun yang tahu bahwa Christian adalah orang merah hanyalah akal-akalan Rara yang tidak mau Sunu jatuh ke tangan orang lain.
“Sunu dan aku telah lima tahun hidup bersama. Serumah bersama. Jangan usik hubungan cinta kami,” ucapnya lagi.
Tetapi Sunu tak akan pernah mencintaimu, Rara.
“Sunu, Anggurku, kenapa kau jatuh cinta pada laki-laki? Tubuh laki-laki sangat menjijikkan seperti belut yang gemar menggeliat di lumpur.”
“Saya suka makan belut.”
“Sunu!”
“Rara, bagaimana mungkin kau bisa membenci belut sedangkan lidahmu belum pernah mencercap rasa gurih daging panjang binatang itu.”
“Sunu!”
“Sensasi makan daging belut sungguh luar biasa. Seperti makan tubuh lelaki. Kalau kau lapar tubuh lelaki, makanlah belut. Tubuhmu akan terasa diobrak-abrik.”
            “Menjijikkan! Aku hanya haus tubuhmu, Sunu.”
            “Jangan ngacau, Rara. Kau perempuan. Tak mungkin bercinta dengan perempuan.”
            Percapakan itu kutelisik dari balik tembok kamar rumah mereka. Sunu jelas-jelas menolak bercinta dengan Rara. Tetapi, aku heran karena percakapan alot penuh penolakan itu selalu berakhir dengan desahan-desahan nikmat kedua perempuan penari keliling itu.
            “Rara, Sunu telah menjadi bisik-bisik mereka. Aku takut mereka menuduh Sunu sebagai tukang tenung yang hendak mencari jampi-jampi di makam Hisa,” kuutarakan segala informasi kecurigaan orang-orang kampung atas tarian aneh Sunu.
            “Kau jangan hanya menakut-nakuti aku, dong. Pikirkan bagaimana solusinya.”
            Kau juga punya rasa takut, Rara? Kupikir, dengan kepongahanmu, kau tak takut pada siapa pun. Pada Tuhan, iblis urakan, apalagi pada orang-orang kampung bodoh. Kupikir kau takkan gentar menghadapi segalanya demi mencapai puncak cintamu pada Sunu.
            Aku sangat senang bersekutu denganmu, Rara. Sebab, dengan begitu aku juga ikut andil memusnahkan lelaki-lelaki tolol yang mencintai Sunu. Sebab, dengan begitu aku tak bisa disebut lelaki kecut yang hanya berlindung di bawah ketiak tengikmu. Rara, siapa lagi lelaki pecinta Sunu yang mesti kau musnahkan setelah kau habisi sepupumu yang berwajah Jibril?
“Kau siap melenyapkan Yustinus?” desau Rara di telingaku.
“Apa yang bakal kita lakukan untuk membunuhnya?”
“Tuduhan klasik,” bisiknya licik.
Lalu, pada pertemuan Rabu Abu, aku mulai berbasa-basi pada calon pastur itu.
“Yustinus, kenapa kau memilih keluar dari biara suci?”
“Aku jatuh cinta pada Sunu.”
“Kau serius?”
“Aku tak pantas jadi penginjil. Kristus tetap suci hingga dijemput maut. Semenjak kenal Sunu, syahwatku tak terbendung. Masturbasiku makin tak karuan.”
Ini peluang bagus untuk menyeret lelaki hijau itu. Langsung saja kuutarakan rencana bangsatku pada Rara. Biar dia saja yang menjalankan ide-ide liarku.
“Tangkap Yustinus!”
“Kalian tahu kenapa dia keluar dari biara?”
“Ia komunis!”
“Atheis!”
“Apa hukuman yang pantas untuk orang murtad?”
“Salib dia!”
“Salib!”
Tubuh Yustinus tanpa daya yang tergantung di tiang mengingatkanku pada peristiwa penyaliban pria Nazaret di Bukit Tengkorak, melolong-lolong memohon belas kasih Allah. Lagi-lagi Rara berhasil meyakinkan penduduk kampung bahwa Yustinus adalah orang komunis yang pantas diberangus.
Bagus, Rara. Kau telah begitu tega menuduh para lelaki itu sebagai orang-orang merah. Tetapi kau pandai menutupi dengan rapat bahwa Sunu, gadis yang sama-sama kita cintai adalah perempuan Gerwani yang setiap waktu dengan suara merdu menyenandungkan lagu “Genjer-genjer”. Rara, bila sudah sampai pada waktunya, akulah yang kelak mengantarkan nyawamu ke alam barzah. Cinta Sunu hanya untukku. Tidak untuk perempuan sadis sepertimu. Tidak untuk lelaki bermuka zombie bernama Hisa yang kini meringkik tragis di kuburan busuk.
“Apa yang kau dapat setelah keliling kampung?”
“Mereka mencurigai Sunu sebagai penyihir yang bakal meneluh seluruh penduduk. Barangkali besok mereka akan menghakimi dan membunuhnya. Rara, Sunu bukanlah perempuan teluh janda Girah Calonarang. Ia perempuan baik-baik yang berhak kau cintai. Selamatkan Sunu!”
“Bagaimana aku harus menghadapi orang-orang kampung?”
“Rara, selama orang-orang kampung bodoh itu masih ada, cintamu pada Sunu takkan selesai dirundung pilu.”
“Maksudmu?”
“Bakar kampung ini! Malam ini sungguh tepat bila kau mau melakukannya!”
“Aku sendiri?”
“Rara Sayang, aku telah menyiram seluruh rumah di kampung ini dengan minyak. Kau tinggal menyulut api.” Kusodorkan sekotak korek api pada tangannya yang dingin.
“Kau tak mau membantuku?”
“Kau pasti tidak ingin terjadi apa-apa pada Sunumu. Aku akan memastikan dia baik-baik saja. Kalau semua sudah terjamin, aku akan menyusulmu. Kita bertiga akan keluar dari kampung biadab ini.”
Dengan serta merta dan tanpa berpikir panjang, Rara, setan betina yang kubodohi segera melakukan apa yang aku minta. Aku bergegas menaiki bukit, menyambangi Sunu yang kelak hanya akan menjadi milikku seorang. Seperti biasa, kupandang Sunu masih khusuk menari-nari berpusing, berlenggak-lenggok, meliuk-liukkan tubuh gemulai serupa ulat jambu. Api yang berkobar di sepanjang lengannya membentuk sayap-sayap warna-warni malaikat nan jelita.
Sunu, Cintaku, kini tinggal kupikirkan bagaimana cara melepasmu dari jerat makam usang itu. Sebab segala halangan dan rintangan telah kutaklukkan. Kulihat lidah-lidah merah menyala-nyala menggapai langit. Kampung di kaki bukit akan segera hangus, termasuk perempuan neraka Rara. Kau takkan selamat dari kepung amuk api yang berkobar-kobar.

Pamekasan, 31 Agustus 2011
  

Biodata Penulis

Nama               : Royyan Julian
Tetala              : Pamekasan, 3 Juli 1989
Alamat                        : Jalan Pelabuhan Branta Pesisir, Tlanakan-Pamekasan
Alamat II        : Jalan Candi Blok IIC RT 09 RW 02 Karang Besuki-Sukun, Malang
Pendidikan      : Jurusan Sastra Indonesia (Fakultas Sastra) Universitas Negeri Malang (UM)
E-mail              : royyanjulian@yahoo.co.id
No. telepon     : 081553601032

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Surat Cinta Untukku

Memori, 31 Oktober 2012


Surat ke-1 tanggal itu

Kadang, cuma butuh satu helaan nafas untuk menyudahi penat hati ini,
sambil membayangkan sepotong senyumanmu....
Jefa Nugraheni Sunu...
Nama yang indah, tidak pernah hilang dari benakku....
Rinduku tak kenal ambigu
Ia cuma kenal kata KAMU, SATU
Rinduku itu sunyi, cuma kamu yang bisa meramaikannya...
Rinduku itu api, cuma kamu yang bisa memadamkannya...
Rinduku itu haus dan lapar
Cuma kamu yang bisa memuaskannya...

With Love... For My Precious...
You are My Precious... My Little Lady.

Surat ke-2 tanggal itu

Ya... Sudahlah...
Ini konsekuensi yang harus kuterima ya sudah...
Inilah aku...
Aku tidak tahu ada dinomor berapa aku bagimu...
Ya sudah...
Ku trima saja
Aku tidak peduli sesakit apapun yang kutrima.
Karena ini resiko mencintaimu..
Karena aku bisa mati jika kehilanganmu

Surat ke-3 tanggal itu

Seribu kali aku tersadar. Kamu begitu berharga
Begitu berbeda tanpamu
Begitu sepi tanpamu
Begitu biasa dan tidak terbiasa aku tanpamu.
Begitu bahagia aku denganmu. Titik.
Rindu kesumat. Merajalela.
Diketerbatasanku yang mengunci bibir untuk bertanya tentangmu.
Apakah kau merasakan hal yang sama? Andai saja.


Ket: Ketika itu hingar bingar manusia dan perasaanku yang sedang meresah menyongsong sesuatu. Ketiga surat itu datang secara beruntun dari kekasihku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Un Cuore Spezzato Kelabu


    Disana, di stasiun, kursi itu tak pernah kosong. Meskipun stasiun sepi dan dinginnya menusuk hingga ketulangnya tidak menjadikannya  undur dengan semua .Disana duduk seorang gadis yang menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang selama berbulan-bulan. Tapi dia tidak peduli. Dia terus menunggu. Sampai akhirnya kekasihnya datang dan membuat hatinya hancur berkeping-keping, kekasihnya datang dengan wanita lain. Membuat hatinya tercabik-cabik. Mati dan terbuang dalam kedukaan. Tak ingin bangkit lagi untuk selamanya. Tapi justru ini yang membuatnya tidak ingin beranjak pergi. Dia tetap ingin mencintai kekasihnya. Tidak peduli kekasihnya sangat menghancurkannya. Dia tetap ingin berdiri tegak ketika dia tau hubungannya ini akan sangat menyakitinya. lalu diapun berlari menghampiri kekasihnya. Gadis itu memeluk kekasihnya dari belakang. tetap dengan senyum diwajahnya. Kekasihnya terkejut dan seakan ingin melepaskan pelukan gadis ini. Tapi sepertinya lelaki itu tidak sampai hati untuk melepaskan pelukan gadis ini. Perempuan yang turun dari kereta bersama dengan lelaki itu matanya merah dan berkaca-kaca. Dalam detik yang sama gadis itu pun menyadari sesuatu. Lalu gadis itu berkata kepada kekasihnya, "Mari pulang." Kekasihnya pun menggenggam tangannya dan mereka melangkah pergi, meninggalkan perempuan yang turun bersama dengan lelaki itu sendirian.
   Ketika hampir tiba di rumah, lelaki itu pun mengatakan jalinan hubungannya dengan perempuan yang bersama dengannya. Gadis itu pun menangis dan rela membagi kekasihnya dengan wanita lain. Dia melakukan itu karena dia tak sanggup berpisah dengan kekasihnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Turn me back in the time when...

Terik matahari menyengat mataku. Kini aku tak dapat memandang sang surya lagi. Perlahan aku merasakan pandanganku yang terkadang kabur. Mataku yang semakin nyeri. Aku takut suatu hari ketika aku bangun, semuanya berubah menjadi gelap.

Aku selalu menyukai musik dengan segenap hatiku. Ya... aku selalu mendengarkan suara-suara disekitarku. Dan ketakutanku menjadi luar biasa ketika aku mendapati terkadang telingaku tak sanggup menangkap bunyi dengan baik lagi. Aku merasakan sakit yang luar biasa pada telingaku.

"Kata-katamu riuh mengalir bagai gerimis" kata Ebiet G. Ade. Yeah... Aku menyanyi dan sangat suka bermain kata-kata. Namun, terkadang aku tak sanggup berbicara dengan baik dan benar. Apakah suatu saat tetap ada yang mendengar suaraku ketika aku tak sanggup bersuara lagi?

Berputar-putar seperti gasing itu keahlianku. Menari hingga kakiku patah adalah obsesiku. Terbang seringan bulu, dan lembut bagaikan kapas. Ya... kini tak akan sanggup seperti itu lagi.

Aku ingin menangis berulang-ulang... Meskipun aku menangis hingga ribuan kali pun aku tak akan sanggup memutar kembali waktu... aku ingin kembali lagi disaat aku sanggup melakukan segalanya tanpa keterbatasan. Merasakan gemerlapnya cahaya... riuh sorakan... dan kebanggan dari semua orang yang menyayangiku.

Kembalikan aku disaat dimana aku dapat jatuh cinta tanpa rasa takut kepada orang yang kupilih. Kembalikan aku ketika aku sanggup menjaga dan merawat orang-orang yang sakit dan membutuhkan penghiburan dan bantuan. Kembalikan aku dikala aku sanggup menerima cinta orang-orang yang mengasihiku.

Kembalikan aku diwaktu aku memiliki impian yang sangat tinggi dan harapan serta usaha yang bisa kulakukan untuk meraihnya.

Aku ingin menyalahkan seseorang atas keadaan ku ini. Tapi, aku tak tau harus menyalahkan siapa.

Aku hanya perlu bertambah dan bertambah kuat lagi. Dan tetap tersenyum meskipun airmata deras mengalir. Bukankah aku masih memiliki Tuhan ku... Meskipun teman-teman dan orang-oranglain perlahan meninggalkanku karena keterbatasanku. Ya... aku memang memiliki keterbatasan... Tapi kuasa Tuhan tidak terbatas. Apa lagi yang perlu ku takutkan? Aku cukup percaya pada-Nya dan berusaha hingga menutup mata.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Berlalu Seiring Truk Penyiram Bunga


Sudah 2 tahun aku tidak bertemu dengannya. Laki-laki yang selalu kucintai dalam hidupku. Ulang tahunku tahun ini sepertinya akan menjadi saksi bahwa sudah 5 tahun aku mencintai lelaki itu. Laki-laki yang selalu membakar semangatku. Meskipun aku tau dia tak pernah menyadari arti dirinya dalam hidupku. Benar, aku menahan perasaanku ini selama bertahun-tahun. Aku tak ingin dia mengetahuinya. Dulu pernah aku mencoba mengatakan padanya. Namun gagal. Aku kira setelah kepergiannya di tempat yang jauh itu, aku akan segera melupakan perasaanku padanya. Tapi kenyataaannya lain. Semakin lama perasaanku ini semakin besar. Dan aku sudah tak mampu membendung perasaan ini lagi. Aku mengatakan padanya beberapa waktu yang lalu. Aku kira dia akan membenciku untuk selamanya ketika mengetahui kenyataan selama ini. Tapi dia tidak marah padaku. Yah, selama ini dia tidak pernah menyakiti perasaanku sedikitpun. Hal apapun yang dia lakukan, dia tak pernah membuatku kecewa ataupun sedih.
***
                Seperti biasa aku mengupdate status facebook, dan segera mengintai facebooknya juga. Disana tertulis:
                Nanti kalau di Ijen ada supir Truk ganteng jangan lupa buat disapa ya J
Aku menjerit histeris. Oh Tuhan, dia sudah sampai di Malang. Tanpa pikir panjang aku segera meraih handphoneku dan mengirim pesan kepadanya.
Ailbert, status FB mu itu sungguhan????
Dan ada balasan beberapa detik kemudian
Ya, benar sekali. Kenapa?
Dan aku mengetik secepat cahaya
Ngapain kamu disana? Emang beneran ya?
Dan entah kenapa dia juga membalas secepat kilat.
Kalau nggak percaya silahkan lihat sendiri, aku disini sampai nanti malam.
Jawaban yang sungguh kutunggu sebelumnya. Aku segera membalasnya
Baik, tunggu... Aku kesana.
                Aku segera meraih tas ku dan melangkah dengan dadaku yang berdegup kencang. Hatiku dipenuhi dengan kegembiraan. Sudah bertahun-tahun aku tidak berjumpa dengannya. Aku ingin menangis, tapi juga tertawa. Aku bahkan ingin berjingkrak-jingkrak sepanjang jalan. Aku tidak berhenti tersenyum dan tertawa-tawa sendiri sepanjang jalan. Tiba-tiba sahabatku meneleponku, dan aku mendengar suara tangis sahabatku ketika aku mengangkatnya. “Kirin aku ingin berbicara denganmu. Aku sungguh-sungguh ingin mati.”
                Dalam sekejap aku bingung. Apa yang harus kulakukan. Setelah sekian lama aku akan bertemu dengan orang yang sudah bertahun-tahun ku cintai. Tapi disisi lain sahabatku membutuhkan aku. “Baiklah, kita bertemu di Perpustakaan Umum ya.” Aku mengambil keputusan untuk bertemu dengan mereka berdua sambil berdoa supaya sahabatku, Tika baik-baik saja dan tidak berbuat nekat karena aku sungguh-sungguh tau siapa dia.
                Akhirnya aku sampai di depan Perpustakaan Umum. Malam ini jalanan sungguh ramai karena malam minggu. Aku menunggu didepan Perpustakaan Umum. Menunggu salah satu dari mereka datang karena aku sudah berjanji pada mereka berdua untuk menemui mereka didepan Perpustakaan Umum. Setelah beberapa menit datanglah Tika yang masih dari wajahnya terlihat sembab karena menangis. “Are you okay?” Aku bertanya sambil menggenggam tangannya.
                “Ya, aku baik-baik saja,” katanya sambil menundukkan kepalanya.
                “Apa kau mau mengatakannya padaku apa yang telah membuatmu menangis sampai seperti ini?,” aku berkata pelan-pelan karena aku takut dia akan menangis lagi.
                “Ya, tapi tidak untuk saat ini. Aku mohon jangan bertanya dulu mengapa aku bisa sampai seperti ini,” Tika meyakinkan dirinya sendiri.
                “Baiklah, aku tak akan memaksamu untuk ini,” kataku sambil menghela nafas.
                “Oh iya, ayo ikut aku ke tengah-tengah jalan ijen. Hehehe.” Aku seraya menarik tangannya untuk mengikutiku.
                Menyeberangi jalan Ijen luar biasa susah karena banyak sekali kendaraan yang berjalan kencang. Setelah sampai ditengah-tengah jalan ijen (yang merupakan jalur hijau) banyak bunga-bunga disana, aku segera mengirim pesan lagi ke Albert.
                Aku sekarang di tengah-tengah jalan Ijen tepatnya di tempat bunga-bunga ditanam depan museum Brawijaya dan perpustakaan umum. Aku menunggumu disini.
                Aku dan Tika memutuskan duduk karena kami merasa sama-sama capek. “Sebenarnya aku sebentar lagi akan bertemu dengan Albert,” kataku agak pelan karena aku merasa takut akan terbangun dari mimpi karena suaraku yang kencang.
                “Apa? Albert? Albert yang selalu kau ceritakan kepadaku, dan kepada setiap orang yang kau kenal? Dan juga selalu kau ceritakan kepada semua lelaki yang mendekatimu? Lelaki yang selama ini selalu kau cintai dan seakan kau melihatnya ada dimanapun kau berada?” Rentetan pertanyaan itu keluar dengan intonasi yang tinggi terus dan mata Tika melotot.
                “ Ya,” jawabku singkat dengan mata yang berbinar dan senyum yang kutahan. Dan akhirnya aku menyerah kepada kebahagiaanku karena senyum itu tak dapat kutahan lagi.
                Tiba-tiba ada Truk yang luar biasa besar berhenti didekat situ. Truk itu ternyata adalah truk penyemprot bunga. Lalu keluarlah laki-laki yang selama ini selalu kupuja. Dia melangkah mendekatiku, dia memberiku senyumannya yang masih tetap indah seperti dulu.
                “Hai, bagaimana kabarmu?”
                “Baik,” dan setelah mengatakan itu, entah kenapa rasanya aku seperti hilang arah. Aku menunjukkan sosok ku yang ceria dan bagaikan seorang sahabat. Padahal dia tahu bahwa aku sangat mencintainya.
Bagiku itu lebih baik daripada aku harus terlihat mengenaskan ketika aku tau bahwa tak mungkin aku bisa bersamanya. Aku mengenalkan Tika kepada Albert. Tapi Tika membuka pembicaraan yang sungguh tak ingin kubahas disini.
“Kamu cowok yang di wallpaper hapenya Kirin kan? Dia selalu menceritakanmu padaku. Sudah berapa lama kalian berpisah? Wah sepertinya kalian harus melepas rindu. Dan apakah keberadaanku disini mengganggu kalian?” Tika mengucapkannya dengan cepat tanpa aku dapat memotongnya. Rasanya aku seperti tersedak kadal raksasa di tenggorokanku.
“Wow, aku tak penah tau bahwa sampai seperti itu,” Albert berkata itu dengan tersenyum dan segera melirik ke arahku yang sekarang sedang membatu karena shock!!!
“Well, apa yang kalian lakukan disini malam-malam begini?” tanya Albert.
“Karena kami ingin menggila dan bersenang-senang dengan berkesenian, hahhaha” aku segera menyahut, supaya tidak terdengar lebih menyedihkan lagi. Lagipula kenapa harus ditanya lagi, bukannya dia sudah tau bahwa aku tadi kesini memang benar-benar untuk bertemu dengannya.
“Boleh aku ikut? Tapi itu tidak mungkin terjadi. Karena aku harus melanjutkan tugasku menyiram bunga sepanjang jalan Ijen,” katanya terlihat menyesal.
“Argh, padahal aku bermaksud untuk meminta tolong padamu,”
“Apa?” dia terlihat penasaran.
“Well, tolong siram kami berdua dengan air didalam truk mu itu... Lalu kami akan menggila seperti dibawah hujan yang deras, membaca puisi atau menari dan menyanyi,” kataku dengan mata berbinar. Albert nyengir lebar.
Tapi Tika menyahut, “Jangan lakukan itu. Kirin, apa kau ingin mati? Ingat, ini malam hari yang dingin dan jauh dari rumah. Kau tau sendiri kan kita berdua dilarang berhujan-hujanan. Apalagi kamu. Masih banyak yang harus kita lakukan. Kita masih harus menyelesaikan proyek dramaku dan proyek lukismu. Dan jika kehujanan, kau bisa mati.”
Mendadak aku merinding dan bergidik. Tika benar. Jika aku melakukan itu, aku tidak akan selamat sampai besok. Apalagi pasti air yang untuk menyirami itu bukan air bersih. Aku bisa masuk Rumah Sakit dalam sekejap.
“Apakah separah itu penyakitmu?” Suara Albert memecah imajinasiku yang semakin menjadi-jadi. Aku menatapnya, dan senyum yang daritadi dia sunggingkan sudah tak ada. Dia terlihat kawatir.
“Hmm... mungkin tidak tewas, hanya saja kritis,” kataku mencoba mencairkan suasana yang dibekukan oleh kekhawatiran Albert dan Tika.
Aku berdiri dan memandang ke arah mobil-mobil yang lewat. Sinar lampu dari mobil-mobil itu menyilaukan mataku. Lalu aku melihat bunga-bunga itu. Meskipun malam hari, mereka masih terlihat indah dan menyenangkan. Albert juga ikut berdiri. Aku sedikit melamun. Lalu tersadar dan segera melihat ke arah Albert. Ketika aku melihat Albert, aku mendapatinya tengah memandangiku. Lalu dia buru-buru mengalihkan pandangan matanya. Seketika itu juga semua perasaanku padanya lenyap. Apa ini? Kenapa begini?
“Aku harus pergi sekarang. Aku harus segera mengerjakan tugasku selama liburan disini. Pamanku sudah mengirim pesan padaku supaya buru-buru.” Dia berkata sambil melihat layar hape dan mulai resah.
“Baiklah, kau pergi saja. Aku masih ingin disini,” Aku tersenyum padanya, tanpa pandangan cinta dimataku.
Albert segera berjabat tangan dengan Tika.
“Aku janji, aku akan menemuimu lagi setelah aku kembali kesini lagi suatu saat nanti,” dia mengulurkan tangannya padaku.
“Baiklah, jangan mengingkarinya lagi. Sama seperti dulu ketika dirimu menjanjikan padaku tak akan meninggalkanku dan akan selalu ada untukku lalu mengingkarinya untuk selamanya.” Aku tetap tersenyum ketika mengatakan itu, namun kali ini tidak memandangnya. Lalu cepat-cepat melepaskan tangannya.
“Aku akan menepatinya kali ini. Tunggu aku,” lalu dia melangkah pergi menuju truk penyemprot bunga itu. Dia tersenyum kepadaku ketika dia melaju menggunakan truk itu dan berlalu pergi.
Baiklah, aku sudah menggenapinya. Seperti kataku dahulu, aku akan terus dan terus mencintaimu sampai cinta itu hilang dari hatiku. Tak peduli aku harus menderita atau apa, akan kujaga hatiku hanya untukmu. Selama ini aku menolak banyak laki-laki yang datang untuk masuk kedalam hatiku. Semua karena dirimu. Namun sekarang cinta itu tiba-tiba lenyap dalam hitungan detik. Dan aku sudah menggenapi janjiku pada diriku sendiri. Selamat tinggal, Albert.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Aku ingin


Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.


Penyair: Sapardi Djoko Damono.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Akhirnya Blog ku aktif lagi :)

Setelah beberapa tahun akhirnya aku dapat mengaktifkan kembali blog ku ini... hahaha... karena lupa pasword aku kira blog ku tak dapat dibuka lagi. Tp untungnya sebaliknya :)
aku sangat senang sekali. Aku dapat menulis lagi :)

selamat datang kembali :D

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS