RSS

Tari Api Jefa Nugraheni Sunu



            Kau boleh menduga bahwa percikan jingga, nila, hijau yang menguar di atas bukit adalah Yahua yang menjelma reranting terbakar sebagaimana yang dilihat Musa di atas Bukit Sinai hingga untuk menjamahnya mesti menanggalkan sepasang alas kaki yang najis. Dan kau juga boleh mengira bahwa itu hanyalah burung phoenix yang hendak meleburkan jasad, lantas bereinkarnasi menjadi makhluk dengan paruh dan bulu cantik yang berkobar-kobar layaknya sirip naga Cina. Tetapi yang kau lihat bukanlah keduanya.
            Bila hari telah makzul, langit menjelma lembayung dan kupastikan bahwa gadis berwajah sebening ilahi itu bakal menari-nari di atas bukit. Lengan-lengannya memercik api tiga warna dan menerangi apa-apa di sekitarnya. Bukit menjadi kelap-kelip mengalahi ribuan kunang-kunang yang beterbangan serampangan di antara halimun. Jefa Nugraheni Sunu. Semula aku tak mengerti apa gerangan yang dilakukannya layak orang gila di atas bukit sendirian. Namun akhirnya aku tahu bahwa ia telah menjadi perempuan penghibur bangkai busuk Hisa yang telah ternisankan.
            “Sunu, Manisku, apa yang kau lakukan di sana? Apa kau tak menggigil?”
            Sunu tak bergeming menghadapi berondongan pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan tatkala ia menyiapkan segala keperluannya. Seolah-olah aku tak ada di hadapnya. Ia hanya peduli pada segala isi tas kumal. Sampur, beragam bunga, dan minyak beraroma aneh yang membuat perutku mual. Terkadang ia membawa sekeping menyan dan berbatang-batang hio cap Kwan Im.
            “Sunu, Cintaku, kau harus terima kenyataan ini. Hisa telah mati dan ia sudah tenang di pangkuan surgawi. Kau tak perlu repot-repot menerangi makamnya. Cahaya Tuhan telah menerangi kuburnya.”
            Seberbusa apa pun aku berbicara, Sunu tetap batu. Cintanya pada lelaki sinting diboyong hingga liang lahat. Cinta mengerikan macam apa yang ia tambat pada Hisa? Sempat aku curiga, Hisa telah meracuni makanan Sunu dengan segala ramuan bercampur mantera pengasihan. Edan… benar-benar edan….
            Dengan sepasang kaki mungil tergopoh-gopoh, Sunu menepis tanganku yang tengah menahan tangannya.
            “Sunu….” Ia berlari dan tak menanggapi panggilan setengah teriakku.
            Sebenarnya, untuk apa Sunu mengubur kekasihnya, lelaki penyakitan itu di atas bukit senyap? Bukankah di sana tak ada lantunan doa seperti hiruk pikuk salawat para peziarah makam Fatimah binti Maimun? Dan absen pula dari gugur bunga kemboja yang menghiasi tanah pusara?
            “Saya hanya ingin membagi cahaya pada Hisa. Bukan pada mayat-mayat yang digerogoti belatung dan kelabang,” pungkas Sunu sembari menyandangkan sampur merah dan mulai menari kesetanan.  
            Kalau sudah begitu, aku hanya bisa menunggu sambil menatap dari jarak beberapa meter. Kedua telapak tanganku siap-siap melindungi mata dari silau api yang bersemburat dari kedua lengan Sunu. Aku juga tak kuasa menahan batuk-batuk kecil lantaran asap dupa murahan memuai dan menusuk-nusuk lubang hidung.
            “Sunu Sayang, mau sampai kapan kau akan terus seperti ini?”
            “Sampai saya menyusulnya,” desisnya terengah-engah sambil bergerak-gerik gasing.
            Sunu, bila kelak aku mati, aku ingin kau juga menerangi kuburku. Tetapi, jika ternyata kau pulang lebih awal, aku akan menguburmu di lembah paling lengang. Akan kubelikan puluhan lampion yang bakal menerangi kuburmu. Akan kutaburi pusaramu dengan helai-helai mahkota mawar darah sebagai bukti cintaku padamu. Kusirami nisanmu dengan beragam minyak wangi tak tertandingi.
            Sebelum dicekal ajal, aku ingin mendapatkan cintamu, Sunu. Aku tak rela lelaki mana pun merenggut kasih manismu. Termasuk perempuan ular yang kini bersekutu denganku. Perempuan berbisa bernama Rara yang sampai detik ini menjadi sahabat lengketmu. 
            “Rara, kita harus berbuat sesuatu. Mereka curiga Sunu melakukan ritual-ritual sesat di atas bukit. Di kubur Hisa.”
            Perempuan itu panik. Rara begitu mencintai Sunu. Sama denganku. Tetapi ia tak tahu aku menjadi pesaing dalam selimut. Anehnya, dia tak mempertanyakan sekecil zarrah pun mengapa aku begitu menggebu-gebu membantu mewujudkan obsesi cintanya pada perempuan lembut.
            Kau tahu siapa Rara? Perempuan itu bermata jelita. Siapa yang tak bakal jatuh cinta pada matanya? Banyak lelaki telah menjadi korban sepasang matanya. Tetapi tidak denganku. Aku tahu siapa perempuan itu. Sepasang matanya seanggun Bastet, dewi kucing yang dipuja kaum-kaum firaun. Namun aku tahu bahwa bola matanya setajam taring kobra yang menyimpan bisa yang akut. Siapa pun yang menatap mata mengerikan itu akan terhisap dan terjerumus ke dalam jurang hitam yang tidak berpangkal. Ceruk matanya lebih dalam daripada kuali jahanam paling laknat. Aku tak mengerti mengapa ular betina seperti dia jatuh cinta pada merpatiku. Pernah suatu kali kutanyakan musababnya.
             “Rara, kenapa kau mencintai Sunu? Kenapa kau mencintai perempuan? Kau terlalu energik untuk mencintai gadis lemah macam Sunu. Bukankah banyak lelaki tampan yang hendak mempersuntingmu?”
            “Aku tak dahaga tubuh laki-laki. Tubuh laki-laki sangat menjijikkan. Bagaimana mungkin aku rela ada laki-laki yang membenamkan tubuhnya pada tubuhku?”
            Tetapi kau telah merebut jatahku, Rara.
Tak berani kuutaran rasa cintaku pada Sunu kepada Rara. Sebab perempuan itu bisa melakukan apa pun demi mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan para lelaki yang dicurigai jatuh cinta pada Sunu. Ia ingin cinta Sunu hanya untuknya. Tak boleh pada siapa pun. Mendadak aku merasa, darah rakus Arok telah menitis pada tubuh perempuan itu. Raja Singasari bertubuh ratusan kelelawar yang gemar menghabisi nyawa manusia demi mendapatkan cinta Dedes, perempuan bertungkai indah.
             Beberapa lelaki telah Rara lenyapkan karena mencintai Sunu, termasuk sepupunya sendiri, Christian. Dosa besar lelaki liat itu adalah memperlihatkan rasa cintanya pada Sunu kepada Rara. Rara menjadi geram dan apa yang perempuan itu lakukan? Ia menuduh lelaki bohemian itu sebagai orang merah. Ia menggiring orang sekampung menandangi rumah Christian. Memperlihatkan bendera bergambar arit-palu yang bertebaran di segenap dinding rumah Christian. Padahal, Rara sendirilah yang memajang bendera-bendera itu. Dengan keji, massa menghakimi Christian hingga babak belur. Hingga tewas kehilangan nyawa.
            “Bakar bangkainya,” bisik Rara kepadaku. Aku bawa tubuh tak bernyawa Christian ke krematorium penuh debu tempatku bekerja.
Christian, kau tak bisa mencintai Sunu karena ia adalah gadis impian sepupumu yang durjana. Kutanggalkan seluruh pakaian lelaki tampan itu. Perempuan-perempuan tolol kampung tergila-gila pada Christian, tetapi ia telah memilih Sunu sebagai tempat meletakkan hati.
Sebelum kukremasi, kupandangi tubuhnya yang cokelat dan masih menyeruak wangi alkohol. Sempat kuberpikir untuk menyetubuhinya. Aku ingin merasakan seperti ketika para perempuan menguliti wujud keperempuannya demi mencicipi tubuh kuda lelaki keriting itu. Tapi, mendadak aku dihinggapi perasaan jijik. Mana mungkin aku akan menggauli mayat lelaki yang telah berani-beraninya jatuh cinta pada Sunuku sayang. Lantas kucincang tubuhnya menjadi serpihan-serpihan kecil dan membakarnya pada tungku kremasi. Tidak sampai gosong, kurenggut kembali potongan-potongan daging itu dan kutabur menjadi makanan anjing dan babi liar yang acap berkeliaran di hutan.
“Rara, kenapa kau tega menuduh sepupumu sendiri?” tanyaku padanya.
“Tak boleh ada yang jatuh cinta pada Sunu. Bahkan Tuhan pun tak boleh.”
Maka tak ada seorang pun yang tahu bahwa Christian adalah orang merah hanyalah akal-akalan Rara yang tidak mau Sunu jatuh ke tangan orang lain.
“Sunu dan aku telah lima tahun hidup bersama. Serumah bersama. Jangan usik hubungan cinta kami,” ucapnya lagi.
Tetapi Sunu tak akan pernah mencintaimu, Rara.
“Sunu, Anggurku, kenapa kau jatuh cinta pada laki-laki? Tubuh laki-laki sangat menjijikkan seperti belut yang gemar menggeliat di lumpur.”
“Saya suka makan belut.”
“Sunu!”
“Rara, bagaimana mungkin kau bisa membenci belut sedangkan lidahmu belum pernah mencercap rasa gurih daging panjang binatang itu.”
“Sunu!”
“Sensasi makan daging belut sungguh luar biasa. Seperti makan tubuh lelaki. Kalau kau lapar tubuh lelaki, makanlah belut. Tubuhmu akan terasa diobrak-abrik.”
            “Menjijikkan! Aku hanya haus tubuhmu, Sunu.”
            “Jangan ngacau, Rara. Kau perempuan. Tak mungkin bercinta dengan perempuan.”
            Percapakan itu kutelisik dari balik tembok kamar rumah mereka. Sunu jelas-jelas menolak bercinta dengan Rara. Tetapi, aku heran karena percakapan alot penuh penolakan itu selalu berakhir dengan desahan-desahan nikmat kedua perempuan penari keliling itu.
            “Rara, Sunu telah menjadi bisik-bisik mereka. Aku takut mereka menuduh Sunu sebagai tukang tenung yang hendak mencari jampi-jampi di makam Hisa,” kuutarakan segala informasi kecurigaan orang-orang kampung atas tarian aneh Sunu.
            “Kau jangan hanya menakut-nakuti aku, dong. Pikirkan bagaimana solusinya.”
            Kau juga punya rasa takut, Rara? Kupikir, dengan kepongahanmu, kau tak takut pada siapa pun. Pada Tuhan, iblis urakan, apalagi pada orang-orang kampung bodoh. Kupikir kau takkan gentar menghadapi segalanya demi mencapai puncak cintamu pada Sunu.
            Aku sangat senang bersekutu denganmu, Rara. Sebab, dengan begitu aku juga ikut andil memusnahkan lelaki-lelaki tolol yang mencintai Sunu. Sebab, dengan begitu aku tak bisa disebut lelaki kecut yang hanya berlindung di bawah ketiak tengikmu. Rara, siapa lagi lelaki pecinta Sunu yang mesti kau musnahkan setelah kau habisi sepupumu yang berwajah Jibril?
“Kau siap melenyapkan Yustinus?” desau Rara di telingaku.
“Apa yang bakal kita lakukan untuk membunuhnya?”
“Tuduhan klasik,” bisiknya licik.
Lalu, pada pertemuan Rabu Abu, aku mulai berbasa-basi pada calon pastur itu.
“Yustinus, kenapa kau memilih keluar dari biara suci?”
“Aku jatuh cinta pada Sunu.”
“Kau serius?”
“Aku tak pantas jadi penginjil. Kristus tetap suci hingga dijemput maut. Semenjak kenal Sunu, syahwatku tak terbendung. Masturbasiku makin tak karuan.”
Ini peluang bagus untuk menyeret lelaki hijau itu. Langsung saja kuutarakan rencana bangsatku pada Rara. Biar dia saja yang menjalankan ide-ide liarku.
“Tangkap Yustinus!”
“Kalian tahu kenapa dia keluar dari biara?”
“Ia komunis!”
“Atheis!”
“Apa hukuman yang pantas untuk orang murtad?”
“Salib dia!”
“Salib!”
Tubuh Yustinus tanpa daya yang tergantung di tiang mengingatkanku pada peristiwa penyaliban pria Nazaret di Bukit Tengkorak, melolong-lolong memohon belas kasih Allah. Lagi-lagi Rara berhasil meyakinkan penduduk kampung bahwa Yustinus adalah orang komunis yang pantas diberangus.
Bagus, Rara. Kau telah begitu tega menuduh para lelaki itu sebagai orang-orang merah. Tetapi kau pandai menutupi dengan rapat bahwa Sunu, gadis yang sama-sama kita cintai adalah perempuan Gerwani yang setiap waktu dengan suara merdu menyenandungkan lagu “Genjer-genjer”. Rara, bila sudah sampai pada waktunya, akulah yang kelak mengantarkan nyawamu ke alam barzah. Cinta Sunu hanya untukku. Tidak untuk perempuan sadis sepertimu. Tidak untuk lelaki bermuka zombie bernama Hisa yang kini meringkik tragis di kuburan busuk.
“Apa yang kau dapat setelah keliling kampung?”
“Mereka mencurigai Sunu sebagai penyihir yang bakal meneluh seluruh penduduk. Barangkali besok mereka akan menghakimi dan membunuhnya. Rara, Sunu bukanlah perempuan teluh janda Girah Calonarang. Ia perempuan baik-baik yang berhak kau cintai. Selamatkan Sunu!”
“Bagaimana aku harus menghadapi orang-orang kampung?”
“Rara, selama orang-orang kampung bodoh itu masih ada, cintamu pada Sunu takkan selesai dirundung pilu.”
“Maksudmu?”
“Bakar kampung ini! Malam ini sungguh tepat bila kau mau melakukannya!”
“Aku sendiri?”
“Rara Sayang, aku telah menyiram seluruh rumah di kampung ini dengan minyak. Kau tinggal menyulut api.” Kusodorkan sekotak korek api pada tangannya yang dingin.
“Kau tak mau membantuku?”
“Kau pasti tidak ingin terjadi apa-apa pada Sunumu. Aku akan memastikan dia baik-baik saja. Kalau semua sudah terjamin, aku akan menyusulmu. Kita bertiga akan keluar dari kampung biadab ini.”
Dengan serta merta dan tanpa berpikir panjang, Rara, setan betina yang kubodohi segera melakukan apa yang aku minta. Aku bergegas menaiki bukit, menyambangi Sunu yang kelak hanya akan menjadi milikku seorang. Seperti biasa, kupandang Sunu masih khusuk menari-nari berpusing, berlenggak-lenggok, meliuk-liukkan tubuh gemulai serupa ulat jambu. Api yang berkobar di sepanjang lengannya membentuk sayap-sayap warna-warni malaikat nan jelita.
Sunu, Cintaku, kini tinggal kupikirkan bagaimana cara melepasmu dari jerat makam usang itu. Sebab segala halangan dan rintangan telah kutaklukkan. Kulihat lidah-lidah merah menyala-nyala menggapai langit. Kampung di kaki bukit akan segera hangus, termasuk perempuan neraka Rara. Kau takkan selamat dari kepung amuk api yang berkobar-kobar.

Pamekasan, 31 Agustus 2011
  

Biodata Penulis

Nama               : Royyan Julian
Tetala              : Pamekasan, 3 Juli 1989
Alamat                        : Jalan Pelabuhan Branta Pesisir, Tlanakan-Pamekasan
Alamat II        : Jalan Candi Blok IIC RT 09 RW 02 Karang Besuki-Sukun, Malang
Pendidikan      : Jurusan Sastra Indonesia (Fakultas Sastra) Universitas Negeri Malang (UM)
E-mail              : royyanjulian@yahoo.co.id
No. telepon     : 081553601032

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Surat Cinta Untukku

Memori, 31 Oktober 2012


Surat ke-1 tanggal itu

Kadang, cuma butuh satu helaan nafas untuk menyudahi penat hati ini,
sambil membayangkan sepotong senyumanmu....
Jefa Nugraheni Sunu...
Nama yang indah, tidak pernah hilang dari benakku....
Rinduku tak kenal ambigu
Ia cuma kenal kata KAMU, SATU
Rinduku itu sunyi, cuma kamu yang bisa meramaikannya...
Rinduku itu api, cuma kamu yang bisa memadamkannya...
Rinduku itu haus dan lapar
Cuma kamu yang bisa memuaskannya...

With Love... For My Precious...
You are My Precious... My Little Lady.

Surat ke-2 tanggal itu

Ya... Sudahlah...
Ini konsekuensi yang harus kuterima ya sudah...
Inilah aku...
Aku tidak tahu ada dinomor berapa aku bagimu...
Ya sudah...
Ku trima saja
Aku tidak peduli sesakit apapun yang kutrima.
Karena ini resiko mencintaimu..
Karena aku bisa mati jika kehilanganmu

Surat ke-3 tanggal itu

Seribu kali aku tersadar. Kamu begitu berharga
Begitu berbeda tanpamu
Begitu sepi tanpamu
Begitu biasa dan tidak terbiasa aku tanpamu.
Begitu bahagia aku denganmu. Titik.
Rindu kesumat. Merajalela.
Diketerbatasanku yang mengunci bibir untuk bertanya tentangmu.
Apakah kau merasakan hal yang sama? Andai saja.


Ket: Ketika itu hingar bingar manusia dan perasaanku yang sedang meresah menyongsong sesuatu. Ketiga surat itu datang secara beruntun dari kekasihku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS