Kau
boleh menduga bahwa percikan jingga, nila, hijau yang menguar di atas bukit
adalah Yahua yang menjelma reranting terbakar sebagaimana yang dilihat Musa di
atas Bukit Sinai hingga untuk menjamahnya mesti menanggalkan sepasang alas kaki
yang najis. Dan kau juga boleh mengira bahwa itu hanyalah burung phoenix yang
hendak meleburkan jasad, lantas bereinkarnasi menjadi makhluk dengan paruh dan
bulu cantik yang berkobar-kobar layaknya sirip naga Cina. Tetapi yang kau lihat
bukanlah keduanya.
Bila
hari telah makzul, langit menjelma lembayung dan kupastikan bahwa gadis
berwajah sebening ilahi itu bakal menari-nari di atas bukit. Lengan-lengannya
memercik api tiga warna dan menerangi apa-apa di sekitarnya. Bukit menjadi
kelap-kelip mengalahi ribuan kunang-kunang yang beterbangan serampangan di
antara halimun. Jefa Nugraheni Sunu. Semula aku tak mengerti apa gerangan yang
dilakukannya layak orang gila di atas bukit sendirian. Namun akhirnya aku tahu
bahwa ia telah menjadi perempuan penghibur bangkai busuk Hisa yang telah
ternisankan.
“Sunu,
Manisku, apa yang kau lakukan di sana? Apa kau tak menggigil?”
Sunu
tak bergeming menghadapi berondongan pertanyaan-pertanyaan yang kulontarkan
tatkala ia menyiapkan segala keperluannya. Seolah-olah aku tak ada di hadapnya.
Ia hanya peduli pada segala isi tas kumal. Sampur, beragam bunga, dan minyak
beraroma aneh yang membuat perutku mual. Terkadang ia membawa sekeping menyan
dan berbatang-batang hio cap Kwan Im.
“Sunu,
Cintaku, kau harus terima kenyataan ini. Hisa telah mati dan ia sudah tenang di
pangkuan surgawi. Kau tak perlu repot-repot menerangi makamnya. Cahaya Tuhan
telah menerangi kuburnya.”
Seberbusa
apa pun aku berbicara, Sunu tetap batu. Cintanya pada lelaki sinting diboyong
hingga liang lahat. Cinta mengerikan macam apa yang ia tambat pada Hisa? Sempat
aku curiga, Hisa telah meracuni makanan Sunu dengan segala ramuan bercampur
mantera pengasihan. Edan… benar-benar edan….
Dengan
sepasang kaki mungil tergopoh-gopoh, Sunu menepis tanganku yang tengah menahan
tangannya.
“Sunu….”
Ia berlari dan tak menanggapi panggilan setengah teriakku.
Sebenarnya,
untuk apa Sunu mengubur kekasihnya, lelaki penyakitan itu di atas bukit senyap?
Bukankah di sana tak ada lantunan doa seperti hiruk pikuk salawat para peziarah
makam Fatimah binti Maimun? Dan absen pula dari gugur bunga kemboja yang
menghiasi tanah pusara?
“Saya
hanya ingin membagi cahaya pada Hisa. Bukan pada mayat-mayat yang digerogoti
belatung dan kelabang,” pungkas Sunu sembari menyandangkan sampur merah dan
mulai menari kesetanan.
Kalau
sudah begitu, aku hanya bisa menunggu sambil menatap dari jarak beberapa meter.
Kedua telapak tanganku siap-siap melindungi mata dari silau api yang
bersemburat dari kedua lengan Sunu. Aku juga tak kuasa menahan batuk-batuk
kecil lantaran asap dupa murahan memuai dan menusuk-nusuk lubang hidung.
“Sunu
Sayang, mau sampai kapan kau akan terus seperti ini?”
“Sampai
saya menyusulnya,” desisnya terengah-engah sambil bergerak-gerik gasing.
Sunu,
bila kelak aku mati, aku ingin kau juga menerangi kuburku. Tetapi, jika
ternyata kau pulang lebih awal, aku akan menguburmu di lembah paling lengang.
Akan kubelikan puluhan lampion yang bakal menerangi kuburmu. Akan kutaburi
pusaramu dengan helai-helai mahkota mawar darah sebagai bukti cintaku padamu.
Kusirami nisanmu dengan beragam minyak wangi tak tertandingi.
Sebelum
dicekal ajal, aku ingin mendapatkan cintamu, Sunu. Aku tak rela lelaki mana pun
merenggut kasih manismu. Termasuk perempuan ular yang kini bersekutu denganku.
Perempuan berbisa bernama Rara yang sampai detik ini menjadi sahabat
lengketmu.
“Rara,
kita harus berbuat sesuatu. Mereka curiga Sunu melakukan ritual-ritual sesat di
atas bukit. Di kubur Hisa.”
Perempuan
itu panik. Rara begitu mencintai Sunu. Sama denganku. Tetapi ia tak tahu aku
menjadi pesaing dalam selimut. Anehnya, dia tak mempertanyakan sekecil zarrah
pun mengapa aku begitu menggebu-gebu membantu mewujudkan obsesi cintanya pada
perempuan lembut.
Kau
tahu siapa Rara? Perempuan itu bermata jelita. Siapa yang tak bakal jatuh cinta
pada matanya? Banyak lelaki telah menjadi korban sepasang matanya. Tetapi tidak
denganku. Aku tahu siapa perempuan itu. Sepasang matanya seanggun Bastet, dewi
kucing yang dipuja kaum-kaum firaun. Namun aku tahu bahwa bola matanya setajam
taring kobra yang menyimpan bisa yang akut. Siapa pun yang menatap mata
mengerikan itu akan terhisap dan terjerumus ke dalam jurang hitam yang tidak
berpangkal. Ceruk matanya lebih dalam daripada kuali jahanam paling laknat. Aku
tak mengerti mengapa ular betina seperti dia jatuh cinta pada merpatiku. Pernah
suatu kali kutanyakan musababnya.
“Rara, kenapa kau mencintai Sunu? Kenapa kau
mencintai perempuan? Kau terlalu energik untuk mencintai gadis lemah macam
Sunu. Bukankah banyak lelaki tampan yang hendak mempersuntingmu?”
“Aku
tak dahaga tubuh laki-laki. Tubuh laki-laki sangat menjijikkan. Bagaimana
mungkin aku rela ada laki-laki yang membenamkan tubuhnya pada tubuhku?”
Tetapi
kau telah merebut jatahku, Rara.
Tak berani
kuutaran rasa cintaku pada Sunu kepada Rara. Sebab perempuan itu bisa melakukan
apa pun demi mencapai tujuannya. Termasuk melenyapkan para lelaki yang
dicurigai jatuh cinta pada Sunu. Ia ingin cinta Sunu hanya untuknya. Tak boleh
pada siapa pun. Mendadak aku merasa, darah rakus Arok telah menitis pada tubuh
perempuan itu. Raja Singasari bertubuh ratusan kelelawar yang gemar menghabisi
nyawa manusia demi mendapatkan cinta Dedes, perempuan bertungkai indah.
Beberapa lelaki telah Rara lenyapkan karena
mencintai Sunu, termasuk sepupunya sendiri, Christian. Dosa besar lelaki liat
itu adalah memperlihatkan rasa cintanya pada Sunu kepada Rara. Rara menjadi
geram dan apa yang perempuan itu lakukan? Ia menuduh lelaki bohemian itu
sebagai orang merah. Ia menggiring orang sekampung menandangi rumah Christian.
Memperlihatkan bendera bergambar arit-palu yang bertebaran di segenap dinding
rumah Christian. Padahal, Rara sendirilah yang memajang bendera-bendera itu. Dengan
keji, massa menghakimi Christian hingga babak belur. Hingga tewas kehilangan nyawa.
“Bakar
bangkainya,” bisik Rara kepadaku. Aku bawa tubuh tak bernyawa Christian ke
krematorium penuh debu tempatku bekerja.
Christian,
kau tak bisa mencintai Sunu karena ia adalah gadis impian sepupumu yang
durjana. Kutanggalkan seluruh pakaian lelaki
tampan itu. Perempuan-perempuan tolol kampung tergila-gila pada Christian,
tetapi ia telah memilih Sunu sebagai tempat meletakkan hati.
Sebelum
kukremasi, kupandangi tubuhnya yang cokelat dan masih menyeruak wangi alkohol.
Sempat kuberpikir untuk menyetubuhinya. Aku ingin merasakan seperti ketika para
perempuan menguliti wujud keperempuannya demi mencicipi tubuh kuda lelaki keriting
itu. Tapi, mendadak aku dihinggapi perasaan jijik. Mana mungkin aku akan
menggauli mayat lelaki yang telah berani-beraninya jatuh cinta pada Sunuku
sayang. Lantas kucincang tubuhnya menjadi serpihan-serpihan kecil dan
membakarnya pada tungku kremasi. Tidak sampai gosong, kurenggut kembali
potongan-potongan daging itu dan kutabur menjadi makanan anjing dan babi liar
yang acap berkeliaran di hutan.
“Rara, kenapa
kau tega menuduh sepupumu sendiri?” tanyaku padanya.
“Tak boleh ada
yang jatuh cinta pada Sunu. Bahkan Tuhan pun tak boleh.”
Maka tak ada
seorang pun yang tahu bahwa Christian adalah orang merah hanyalah akal-akalan
Rara yang tidak mau Sunu jatuh ke tangan orang lain.
“Sunu dan aku
telah lima tahun hidup bersama. Serumah bersama. Jangan usik hubungan cinta
kami,” ucapnya lagi.
Tetapi
Sunu tak akan pernah mencintaimu, Rara.
“Sunu, Anggurku,
kenapa kau jatuh cinta pada laki-laki? Tubuh laki-laki sangat menjijikkan seperti
belut yang gemar menggeliat di lumpur.”
“Saya suka makan
belut.”
“Sunu!”
“Rara, bagaimana
mungkin kau bisa membenci belut sedangkan lidahmu belum pernah mencercap rasa
gurih daging panjang binatang itu.”
“Sunu!”
“Sensasi makan
daging belut sungguh luar biasa. Seperti makan tubuh lelaki. Kalau kau lapar
tubuh lelaki, makanlah belut. Tubuhmu akan terasa diobrak-abrik.”
“Menjijikkan!
Aku hanya haus tubuhmu, Sunu.”
“Jangan
ngacau, Rara. Kau perempuan. Tak mungkin bercinta dengan perempuan.”
Percapakan
itu kutelisik dari balik tembok kamar rumah mereka. Sunu jelas-jelas menolak
bercinta dengan Rara. Tetapi, aku heran karena percakapan alot penuh penolakan
itu selalu berakhir dengan desahan-desahan nikmat kedua perempuan penari
keliling itu.
“Rara,
Sunu telah menjadi bisik-bisik mereka. Aku takut mereka menuduh Sunu sebagai
tukang tenung yang hendak mencari jampi-jampi di makam Hisa,” kuutarakan segala
informasi kecurigaan orang-orang kampung atas tarian aneh Sunu.
“Kau
jangan hanya menakut-nakuti aku, dong. Pikirkan bagaimana solusinya.”
Kau
juga punya rasa takut, Rara? Kupikir, dengan kepongahanmu, kau tak takut pada siapa
pun. Pada Tuhan, iblis urakan, apalagi pada orang-orang kampung bodoh. Kupikir kau
takkan gentar menghadapi segalanya demi mencapai puncak cintamu pada Sunu.
Aku
sangat senang bersekutu denganmu, Rara. Sebab, dengan begitu aku juga ikut
andil memusnahkan lelaki-lelaki tolol yang mencintai Sunu. Sebab, dengan begitu
aku tak bisa disebut lelaki kecut yang hanya berlindung di bawah ketiak tengikmu.
Rara, siapa lagi lelaki pecinta Sunu yang mesti kau musnahkan setelah kau
habisi sepupumu yang berwajah Jibril?
“Kau siap melenyapkan
Yustinus?” desau Rara di telingaku.
“Apa yang bakal kita
lakukan untuk membunuhnya?”
“Tuduhan
klasik,” bisiknya licik.
Lalu, pada
pertemuan Rabu Abu, aku mulai berbasa-basi pada calon pastur itu.
“Yustinus,
kenapa kau memilih keluar dari biara suci?”
“Aku jatuh cinta
pada Sunu.”
“Kau serius?”
“Aku tak pantas jadi
penginjil. Kristus tetap suci hingga dijemput maut. Semenjak kenal Sunu,
syahwatku tak terbendung. Masturbasiku makin tak karuan.”
Ini peluang
bagus untuk menyeret lelaki hijau itu. Langsung saja kuutarakan rencana
bangsatku pada Rara. Biar dia saja yang menjalankan ide-ide liarku.
“Tangkap
Yustinus!”
“Kalian tahu
kenapa dia keluar dari biara?”
“Ia komunis!”
“Atheis!”
“Apa hukuman
yang pantas untuk orang murtad?”
“Salib dia!”
“Salib!”
Tubuh Yustinus tanpa
daya yang tergantung di tiang mengingatkanku pada peristiwa penyaliban pria
Nazaret di Bukit Tengkorak, melolong-lolong memohon belas kasih Allah.
Lagi-lagi Rara berhasil meyakinkan penduduk kampung bahwa Yustinus adalah orang
komunis yang pantas diberangus.
Bagus, Rara. Kau
telah begitu tega menuduh para lelaki itu sebagai orang-orang merah. Tetapi kau
pandai menutupi dengan rapat bahwa Sunu, gadis yang sama-sama kita cintai
adalah perempuan Gerwani yang setiap waktu dengan suara merdu menyenandungkan
lagu “Genjer-genjer”. Rara, bila sudah sampai pada waktunya, akulah yang kelak
mengantarkan nyawamu ke alam barzah. Cinta Sunu hanya untukku. Tidak untuk
perempuan sadis sepertimu. Tidak untuk lelaki bermuka zombie bernama Hisa yang
kini meringkik tragis di kuburan busuk.
“Apa yang kau
dapat setelah keliling kampung?”
“Mereka
mencurigai Sunu sebagai penyihir yang bakal meneluh seluruh penduduk.
Barangkali besok mereka akan menghakimi dan membunuhnya. Rara, Sunu bukanlah
perempuan teluh janda Girah Calonarang. Ia perempuan baik-baik yang berhak kau
cintai. Selamatkan Sunu!”
“Bagaimana aku
harus menghadapi orang-orang kampung?”
“Rara, selama
orang-orang kampung bodoh itu masih ada, cintamu pada Sunu takkan selesai
dirundung pilu.”
“Maksudmu?”
“Bakar kampung
ini! Malam ini sungguh tepat bila kau mau melakukannya!”
“Aku sendiri?”
“Rara Sayang,
aku telah menyiram seluruh rumah di kampung ini dengan minyak. Kau tinggal
menyulut api.” Kusodorkan sekotak korek api pada tangannya yang dingin.
“Kau tak mau
membantuku?”
“Kau pasti tidak
ingin terjadi apa-apa pada Sunumu. Aku akan memastikan dia baik-baik saja.
Kalau semua sudah terjamin, aku akan menyusulmu. Kita bertiga akan keluar dari
kampung biadab ini.”
Dengan serta
merta dan tanpa berpikir panjang, Rara, setan betina yang kubodohi segera melakukan
apa yang aku minta. Aku bergegas menaiki bukit, menyambangi Sunu yang kelak
hanya akan menjadi milikku seorang. Seperti biasa, kupandang Sunu masih khusuk
menari-nari berpusing, berlenggak-lenggok, meliuk-liukkan tubuh gemulai serupa
ulat jambu. Api yang berkobar di sepanjang lengannya membentuk sayap-sayap
warna-warni malaikat nan jelita.
Sunu, Cintaku,
kini tinggal kupikirkan bagaimana cara melepasmu dari jerat makam usang itu.
Sebab segala halangan dan rintangan telah kutaklukkan. Kulihat lidah-lidah
merah menyala-nyala menggapai langit. Kampung di kaki bukit akan segera hangus,
termasuk perempuan neraka Rara. Kau takkan selamat dari kepung amuk api yang
berkobar-kobar.
Pamekasan,
31 Agustus 2011
Biodata Penulis
Nama : Royyan Julian
Tetala : Pamekasan, 3 Juli 1989
Alamat : Jalan Pelabuhan Branta Pesisir,
Tlanakan-Pamekasan
Alamat II : Jalan Candi Blok IIC RT 09 RW 02 Karang Besuki-Sukun,
Malang
Pendidikan : Jurusan Sastra Indonesia (Fakultas Sastra) Universitas Negeri
Malang (UM)
E-mail : royyanjulian@yahoo.co.id
No. telepon : 081553601032
0 komentar:
Posting Komentar